Sebuah Review : Dilan 1990, Pembuktian Iqbal.

Dilan oh.. Dilan…
Ketika novel Dilan keluar bisa dipastikan untuk semua pembacanya yang laki-laki ingin menjadi Dilan dan yang perempuan ingin memiliki kekasih layaknya Dilan.
Mungkin tidak semua tapi bisa dianggap beberapa. Kenapa enggak? Bagi lelaki menjadi anak sekolah yang disegani, idealis dan pandai membuat gombalan yang membuat setiap wanita merasa beruntung di ucapkan selamat tidur ataupun rindu setiap harinya. Ataupun bagi para perempuan yang memiliki kekasih siap sedia melindungi dirinya ketika ada yang menganggu dan setiap harinya dipenuhi wajah bahagia tertawa sendirian tatkala mendengar sang kekasih memberinya gombalan receh ataupun sepucuk surat misterius.

Tapi… semua itu sirna setelah pengumuman novel Dilan akan di film-kan dan pemeran pria yang dalam imajinasi para pembacanya cool, berandalan tapi tetap sayang orang tua itu sirna. Yaa… pasti beberapa merasa begitu… liat aja instagram ayah Pidi Baiq ataupun tab mention twitternya. Pasti banyak yang mempertanyakan keputusan ayah menjadikan Iqbal ex CJR (eh gatau deng ex apa enggak) sebagai Dilan. Begitu juga instagramnya Iqbal (Dilan) ga jarang netijen terhormat yang berkomentar pedas seperti ibu-ibu yang lagi gosip di tukang sayur saban hari. Dan itu adalah prolog dari review ini. Kita mulai review film nya ya.

Awalnya gua ragu ketika ayah Pidi Baiq bilang novel Dilan akan di film-in tapi gua gajadi ragu ketia ayah juga bilang kalau Dilan hanya akan di film-in bilamana ayah yang jadi sutradara. Itulah kenapa akhirnya gua memutuskan menonton film Dilan sabtu kemarin ketika Depok sedang tidak dicerahi sinar sang surya dan hujan tak kunjung datang. Anyep bahasa keren cuacanya. Ketika trailer Dilan keluar gua ga berekspektasi banyak. Selain wajah Iqbal yang memang terlihat seperti tidak cocok menjadi Panglima Tempur, bayangan dia joget-joget setiap di acara musik pagi yang sekarang berubah jadi acara masak atau senam itu masih terbayang banget dipikiran gua.

Buat yang gak baca bukunya ketika nonton film Dilan mungkin terasa aneh. Film Dilan 1990 ini gua merasa melewatkan sisi pengenalan tokoh secara mendalam atau kayanya memang disajikan khusus buat para pembaca novelnya. Walaupun gua tau sih, ayah pengen membuat film Dilan 1990 ini bener-bener serupa dengan Novel-nya. Gimana semua adegan diceritakan dari sudut pandang Milea sang korban peramal. Kisah Dilan dan Milea adalah kisah romantis anak SMA yang klasik banget sebenernya. Remaja laki-laki yang badboy, idealis, tapi selalu punya daya tarik buat wanita ingin dekat. Juga Milea, seorang remaja perempuan yang mandiri, bimbang atau lebih tepatnya plin plan sih, dan selalu ingin diberi perhatian lebih. Awalnya dingin dan ya tau lah ya kisah klasik remaja. Nuansa tahun 1990 lah yang menjadi pembeda. Tidak ada telepon genggam, internet, ojek online apalagi. Semua terasa lebih bahagia keliatanya, yang ada telepon umum dan surat. Dua hal itu yang jadi kekuatan kisah mereka berdua dan Dilan juga sebagai pujangga dengan kata-kata ajaibnya.

Vanesha gua merasa dia adalah sosok yang bener-bener mewakili Milea dan mayoritas remaja perempuan itu. Vanesha tampil dengan warna baru buat dunia perfilman Indonesia. Karakter Milea yang plin-plan dan ga mau kehilangan kebahagiannya suskes banget Vanesha peranin. Dia ga mirip deh sama Milly di AADC disini. Remaja perempuan gitu, yang selalu ingin merasa bahagia lagi dan lagi. Apalagi kalau dia lagi manja sama Bunda-nya Dilan. Itu adegan paling manis sepanjang film ini. Bisa diprediksi wajah Vanesha akan makin sering muncul di layar bioskop beberapa tahun kedepan kalau liat aktingnya di film Dilan 1990 ini.

Lanjut ke Iqbal. Dari awal memang gua udah ga berekspektasi tinggi sama aktingnya. Selain sosok Dilan yang memang sungguh ajaib di novelnya. Komentar netijen terhormat tentang dia udah mewakili ekspektasi awal gua waktu dia jadi Dilan. Tapi…. ternyata semua pemikiran gua itu bisa dipatahin. Termasuk prolog gua diawal juga itu. Iqbal menurut gua berhasil menghidupkan karakter Dilan. Tidak adalagi yang bisa bandingin Dilan lebih baik diperanin aktor a lah, aktor b lah. Tidak adalagi kata-kata itu menurut gua. Iqbal gua liat banget mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk menghidupkan Dilan. Cara dia bicara, memandang, mengeluarkan gombalan, senyum sengak-nya itu berhasil menjadikan dia adalah sosok yang tepat untuk menjadi Dilan. Meskipun ada beberapa kekurangan ketika dia beradegan menjadi sosok panglima tempur. Gaharnya gua rasa belum keluar. Meskipun sangat menakjubkan ketika melawan Surapto.

Pada akhirnya film ini sangat gua rekomendasikan bagi kawan-kawan yang ingin belajar gombal dan juga merasakan kisah cinta bahagia tanpa nominal harga. Yang ada hanya keajaiban permainan kata. Karena ayah pidi baiq pernah berkata "Suara rakyat adalah suara tuhan yang jadi bisu karena suaranya diambil waktu pemilu". Ga nyambung ya? Gapapa yang penting biar ada quotes nya aja di review akhir ini. Sekian

Komentar

  1. Terima kasih rekomendasinya. Semoga nanti saya juga bisa belajar review film. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih udah menyempatkan berkunjung dan membacanya. saya juga masih belajar kok hehe :)

      Hapus
  2. Balasan
    1. terima kasih banyak mas udah nyempetin baca reviewnya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Depok Kota Tanpa Jatidiri (?)

Sebuah Review : Susah Sinyal. Film Pembuka di Tahun 2018

Sebuah Review : Orang Kaya Baru, Sebuah Realita dalam Film