Asian Games dalam Lingkaran Polusi Visual

Setiap hari (kerja) saya selalu melintasi jalan raya Lenteng Agung untuk kemudian menyebrang masuk ke jalan raya Pasar Minggu hingga terus berlanjut bertemu patung dirgantara Pancoran), masuk ke daerah Tebet dan diakhiri dengan memasuki Kawasan Kuningan sampai akhirnya tiba di kantor. Hal tersebut selalu berulang selama menjalani hari-hari menjadi buruh korporat layaknya masyarakat perkotaan lainnya. Sebab Hagerstrand menjelaskan bahwa karena kompleksitas kehidupan masa kini, telah menjadi kewajiban bagi kita semua untuk bergerak melintasi tempat-tempat dan ruang ini. Gilllian Rose juga menuliskan bahwa masyarakat secara keseluruhan terbangun dari konsekuensi yang tak dikehendaki dari aksi individu yang terus berulang (Rose, 1993; Barker, 2016: 309). Dari situlah saya dan mungkin beberapa warga kota lainnya juga (harusnya) sadar bahwa kita hidup di dalam rutinitas yang membuat kita melakukan hal-hal yang telah terpola karena pengulangan yang terus-menerus. 

Tahun ini Indonesia mendapat jatah menjadi tuan rumah Asian Games hajat olahraga terbesar se-Asia. Gegap gempita sudah benar-benar menggema dibeberapa wilayah di Indonesia baik secara sadar dilakukan masyarakat maupun melalui ajakan pemerintah. Tapi celakanya hajatan ini juga berdekatan dengan waktu menuju tahun politik di 2019. Kenapa saya bilang celaka? Berikut mungkin beberapa sudut pandang saya sebagai warga kota yang merasa kebebasan terenggut ketika mencoba menikmati ruang publik ketika melakukan aktivitas berulang saya. 

Asian Games Sebagai Ajang Promosi 


Sejak awal atau dimanapun negara yang menjadi host sebuah perhelatan akbar sekelas Asian Games, Olimpiade bahkan SEA Games pastilah menyisipkan harapan bahwa perhelatan tersebut sebagai ajang promosi yang menarik perhatian turis berdatangan dan juga secara tidak langsung memberikan efek domino pada ekonomi mikro maupun makro yang ikut terdongkrak. Tapi apa yang dirasa hari-hari ini? Promosi itu ternyata telah melenceng dari jalurnya. Ini yang menjadikan alasan mengapa Asian Games di Indonesia yang berlangsung mendekati tahun politik sebuah kecelakaan bagi kebebasan menikmati ruang publik. Polusi-polusi visual semakin marak belakangan ini, terlebih beberapa partai sudah memiliki caleg-caleg yang hampir pasti bertarung pada April 2019 nanti. Kota hari ini menjadi arena pertarungan politik yang di dalamnya berbagai kepentingan berusaha untuk tampil dan merenggut “kebebasan” kita untuk menikmati kota.

Coba dari pembaca disini melewati jalan-jalan yang biasa saya lewati setiap harinya diatas, pastilah kalian menemui apa yang saya sebut sebagai polusi visual itu. Mayoritas spanduk, baliho, poster dan semacamnya, berisikan ajakan untuk mensukseskan Asian Games 2018 tapi ukuran tulisan yang sifatnya persuasif dengan wajah dan nama mereka yang tidak ada kolerasi dalam penyelenggaraan Asian Games amat sangat tidak sebanding. Hal ini sangat menjengkelkan. Asian Games yang seharusnya menampilkan sudut-sudut terbaik yang dapat menjadi ajang promosi yang sebenarnya, kini malah menampilkan wajah asli perilaku politik yang serba sengkarut jika saya boleh meminjam istilah dari Acep Iwan Saidi (2011) dalam salah satu artikelnya. Poster-poster (politik) adalah visualisasi dari cara berpikir dan bertindak para pelibatnya yang miskin imajinasi. Alih-alih sebagai tindakan persuasif ternyata poster-poster politik tersebut terkesan memaksakan ambisi pribadi sang tokoh ke dalam benak penontonnya.

Mies Van de Rohe: Less is More


Asian Games sudah kehilangan salah satu tujuannya disekitar wilayah kota saat ini. Masyarakat secara tidak langsung diteror oleh polusi ini. Seharusnya beberapa pemerinta kota semakin memperkuat dan menegaskan aturan yang dibuat terkait perizinan pemasangan iklan luar ruang ini. Selain sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi juga menghubungkannya sebagai sebuah keindahan suatu karya seni. Kita dan terutama para bapak/ibu yang menjadi pemangku kepentingan sudah harus mulai terbiasa dengan kaidah Mies Van de Rohe: Less is More. Lebih sedikit wajah pejabat yang nampang dijalan, lebih indah wajah kotanya. Sehingga tidak akan lagi kita temui iklan layanan masyarakat tentang sosialisasi keluarga berencana dengan menampilkan wajah Walikota dan istri yang padahal beranak pinak lebih dari program yang direncanakan. Lagi pula sebagai renungan para politisi dan partai terkait, memangnya di era saat ini poster tersebut masih efektif? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Depok Kota Tanpa Jatidiri (?)

Sebuah Review : Susah Sinyal. Film Pembuka di Tahun 2018

Sebuah Review : Orang Kaya Baru, Sebuah Realita dalam Film