Kita dan Keadilan Anak-Anak

Scroll
Scroll
Scroll terus...
Siang itu tanggal 9 April 2019. Jagat twitter tiba-tiba ramai dan memanas seperti suhu udara Puri Kembangan Jakarta Barat dengan tagar #JusticeforAudrey. Bahkan tidak perlu waktu yang lama petisi yang dikeluarkan oleh segelintir insan (karena lebih dari satu) sudah ditandangani banyak insan lainnya yang juga terpanggil hatinya dengan isu yang sedang panas-panasnya siang itu. Sebagai manusia normal kepo adalah hal yang wajar. Tapi syukurnya gua ga sampai hati untuk juga mencari tahu terlalu dalam siapa dan bagaimana latar belakang korban maupun pelaku. Tapi arus informasi di media sosial yang ngga bisa gua hindari, timeline gua benar-benar penuh dengan kondisi korban maupun perilaku pelaku setelah ataupun sebelum kejadian.

Ini yang menjadi hal yang menarik, kawan sejawat dunia maya pada dasarnya gua paham mereka hanya emosi sesaat tapi hal itu tidak dibenarkan juga secara aturan yang sudah ada. Bagaimanapun korban dan pelaku ada dalam kategori umur ''anak''. Mereka semua punya hak yang sama untuk dilindungi dari hak-hak yang sudah ada dan melekat sejak sebelum mereka lahir dan yang teman-teman lakukan sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan mereka pelaku dalam kategori "bullying". Baik korban maupun pelaku pada dasarnya harus sama-sama tidak terekspose dari mulai nama sampai bentuk rupa bahkan. Semua itu bersifat personal dan yang melekat. Karena menurut gua sanksi sosial yang menjurus bullying dalam koridor emosi itu tidak benar-benar memberikan efek jera jangka panjang dan mendasar. Serius deh. Yang balik mau marah-marah karena pernyataan gua ini coba dibuka lagi Undang-Undang Perlindungan Anak deh.



Ada Apa Dengan KPAD?

Sudah dibaca Undang-Undang nya? Kalau belum yaudah gapapa, kita lanjut aja ya pembahasannya. Jagat dunia maya kembali semakin meradang ketika melihat ada kritik terhadap KPAD Pontianak yang merekomendasikan jalur damai atau ya bahasa netizen-nya berat sebelah atau terlalu membela pelaku. Kadang begitulah jika emosi sudah membara para jiwa-jiwa muda, kuping dirasa tertutup headset JBL dengan volume maksimum, tidak berusaha mencari tahu lebih dalam dengan kondisi yang sudah ada dan seharusnya seperti apa. Jika mengikuti aturan ranah pengak hukum itu ada di polisi, bola sekarang lagi dipegang polisi nih. Karena pelaku dan korban dalam hal ini dikategorikan ''anak'', maka prosesnya harus dijalankan sesuai dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) cuy.  KPAD dalam hal ini berupaya menjalankan apa yang seharusnya dilakukan Undang-Undang dimana Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Apa itu Keadilan Restoratif? 

''Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.''

Nangkep kan ya poinnya? Emosi counter bullying jagat dunia maya itu tidak sesuai cuy, itu sifatnya menurut gua pembalasan. Sedangkan yang dibutuhkan pelaku maupun korban adalah pemulihan kembali kepada keadaan semula. Kita saat ini jika benar-benar peduli, hemat gua tetap kawal sampai proses penyeledikan di kepolisian selesai. Yang mana ketika hasilnya sudah keluar setelah dilihat secara hukum pelaku melakukan pelanggaran yang mana diproses secara Undang-Undang seperti apa. KPAD menurut gua hanya sebagai pendamping supaya proses hukum yang berjalan sesuai dengan hak-hak anak secara keseluruhan. Teman-teman juga ga perlu khawatir karena jika putusan hukuman lebih dari 7 tahun tidak menutup kemungkinan pelaku memang dibina sesuai semestinya. Nah keluar diksi halus tentang dibina dari gua, pasti akan jadi sorotan lagi. Kenapa gua menggunakan kata itu? 

Jadi gini, penggunaan kata ini adalah salah satu peran yang bisa kita ambil sebagai orang yang mungkin dianggap lebih "dewasa" secara umur untuk mereka para pelaku yang dapat dikatakan sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum. Pelabelan hukuman penjara seperti para kriminal tidak membuat anak jera dengan melihat efek jangka panjang. Proses rehabilitasi dengan menjujung keadilan restoratif itu justru upaya pengembalian hakikat anak seperti bagaimana seharusnya berprilaku, berpikir panjang. Sesederhana itu sebenarnya alasannya. Gua disini hanya mencoba mengajak untuk teman-teman bisa bersama mewujudin perlindungan anak itu si.

Poin Akhir untuk Negara

Ini poin pembahasan terakhir dan biasanya diminta oleh para punggawa jagat dunia maya nih. Solusi. Tapi ini lebih ke asumsi gua si dan apa yang akan gua coba utarakan ini dari apa yang coba pernah gua lakuin. Jadi, tugas kita sekarang sebenarnya susah-susah gampang. Untuk case yang sedang hype ini kita jadikan sebagai pelajaran sederhananya, tapi kita juga harus memastikan segala prosesnya sesuai. Teman-teman cukup membaca Undang-Undang Perlindungan Anak untuk kasus ini, pastikan juga penegakannya sesuai dengan UU SPPA. Dimana upaya diversi bisa berjalan asal memang tidak ada upaya pemaksaan dari satu pihak karena berlatar belakang ''sesuatu''. Tapi ketika dirasa itu muncul, teman-teman baru bisa bereaksi dengan meminta negara benar-benar hadir sebagai pelindung hak-hak anak. Itu untuk satu case ini. 

Untuk jangka panjangnya bagaimana? Gua ga tau ini udah ada atau belum tapi penguatan keluarga itu penting, jadi kejadian ini terjadi pasti karena memang keluarga lengah, pasti dan akui saja itu. Keluarga itu filter awal anak, kalau anak menyimpang keluarga yang harus dilurusin juga, jadi ketika nantinya sudah ada penegakan terhadap pelaku, keluarga juga harus direhabilitasi dengan wajib lapor dan pengabdian bagaimana seharusnya membentuk karakter anak sesuai dengan norma dan adab yang ada. Pengabdian itu bisa dilakukan dengan keluarga sebagai anggap saja pasien dan juga sebagai penyuluh-nya. Karena fenomena ini sering terjadi dikota-kota yang bisa dianggap maju secara sosial ekonomi nya. Jadi sita saja waktu mereka dengan proses rehabilitasi itu dibanding membiarkan keluarga tanpa arah dan penguatan.

Tadi poin untuk keluarga, kita nih sebagai masyarakat harus bagaimana? Libatkan lagi anak-anak dalam pergaulan yang mendidik karakter, kalau dirumah ga ada karang taruna bikin karang taruna, libatkan anak-anak sejak dini untuk berorganisasi. Mulailah peduli dengan tidak membuat labeling kepada anak sebagai anak yang bersifat a, b atau c. Biarkan mereka berkembang seiring waktunya, kalau menyimpang ya kita yang luruskan, ajak saja. Kadang dari kita itu juga terlampau mudah menyerah sebelum memulai. Terakhir nih mulai sadar sama kebijakan-kebijakan pemerintah setempat, desak pemerintah mewujudkan hak anak yang sederhana dan banyak disukai orang adalah pemenuhan ruang terbuka untuk interaksi, itu penting banget. Konsep besarnya desak pemerintah dengan mewujudkan Kota Layak Anak yang tidak sekedar aturan dan administrasi tapi aksi nyata yang sampai ke akar. Itu aja si ya, tulisan ini sebenarnya coba membuka ilmu dari yang gua serap selama kuliah. Kita diskusi yuk kalau kalian punya perspektif lainnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Depok Kota Tanpa Jatidiri (?)

Sebuah Review : Susah Sinyal. Film Pembuka di Tahun 2018

Sebuah Review : Orang Kaya Baru, Sebuah Realita dalam Film