Depok Kota Tanpa Jatidiri (?)
Linimasa media sosial penulis beberapa bulan yang lalu dipenuhi banyak mention terutama di Twitter. Bahkan beberapa ada yang mengirim pesan secara langsung, sekedar untuk bertanya. "Depok itu emang parah banget ya macetnya?" Begitu kira-kira bunyi pesan dari salah satu kawan diluar kota nan jauh disana. Pertanyaan dan keramaian lini masa media sosial tersebut tidak lain tidak bukan karena beberapa artikel yang dikeluarkan oleh media online kenamaan Tirto.ID pada tanggal 29/01/2018. Pada hari tersebut muncul beberapa artikel, dari yang menyebutkan Depok sebagai desa yang gagal menjadi kota, mengenai masterplan yang juga tidak jelas sampai kepada kemacetan yang tak kunjung memiliki solusi. Pada tulisan kali ini, penulis akan mencoba menelaah masalah yang diangkat dan pandangan secara sederhana menurut penulis mengenai Depok dengan segala kesemrawutannya.
Mari kita mulai tulisan ini dengan bismillah, hmmm maksudnya memulainya dengan menganggap bahwa Kota Depok bukan hanya Margonda, Juanda, Pitara, Tole Iskandar dan beberapa titik kemacetan lainnya. Sejatinya beberapa nama tersebut adalah hanya nama-nama jalan bukan keseleruhan Kota Depok seutuhnya. Penulis dalam hal ini ingin melihat masalah Depok jauh dari sekedar jalan dan kemacetan tersebut. Secara jujur penulis mengamini jika Depok disebut desa yang bertransformasi menjadi kota tanpa perencanaan yang tepat (bahasa kasarnya tidak jelas). Penulis juga mengamini bahwa memang Pemerintah Kota Depok seakan-akan tidak memiliki solusi pasti atas kemacetan yang saban hari terjadi di Kota Depok. Kenapa bisa? Mari coba kita kupas isi otak penulis tentang masalah yang Depok alami hari ini.
Dari banyak sejarah perkotaan diseluruh penjuru negri, kita semua mengamini masa lalu kota adalah sebuah tempat yang menyenangkan untuk hidup, bekerja, merawat anak bahkan sampai menikmati tua. Seperti yang diucapkan oleh Hilderbrand Frey dalam bukunya Designing the City: Towards a More Sustainable Urban Form. (1999) "Most cities in the past are people-friendly, have a positive enviromental impact, and work very well." Akan tetap lihat apa yang terjadi hari ini? Tanpa bermaksud menyampingkan kota-kota lain, penulis mencoba fokus pada kota dimana penulis tinggal dan tumbuh saat ini, Kota Depok. Penulis rasa kota-kota lain juga tidak jauh berbeda. Pasti ada dari orang tua ataupun kakek dan nenek pembaca yang sering bercerita tentang masa lalu kota dimana pembaca pijaki sekarang, dahulu seperti ini dengan segala keunggulan sesuai dengan apa kata Frey tersebut. Namun itulah sejatinya masa lalu kota akan selalu indah apabila diceritakan secara turun temurun. Lalu mengapa tumbuh kembang Kota Depok bisa sampai seperti yang terjadi hari ini?
Depok Lahir Tanpa Jatidiri
Kota Depok secara sejarah sah dan yang diakui negara terbentuk berawal dari sebuah kecamatan yang bergabung dengan Kabupaten Bogor kemudian berangsur-angsur mandiri setelah berdirinya beberapa perumahan kemudian diikuti kepindahan UI juga yang akhirnya membawa Depok menjadi Kota Administratif ditahun 1981 dan menjadi Kotamadya pada tahun 1999. Dari segi sejarah pembentukan memperlihatkan bahwa Depok secara tidak langsung memiliki ikatan kebudayaan dengan wilayah Jawa Barat yang mayoritas Sunda tetapi dari sisi letak geografis tidak bisa ditampik bahwa beberapa wilayah di Kota Depok juga erat bersinggungan dengan kebudayaan Betawi yang berkiblat di Jakarta. Perkara ini bukan tentang lebih baik Depok terbentuk mengikuti budaya yang mana. Dalam perspektif pembangunan kota yang mengacu pada hierarki kebutuhan manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, terdapat beberapa rumusan langkah nyata yang harus dilakukan untuk meluruskan pembangunan kota yang telah mengalami kemencengan. Sebenarnya yang diungkapkan Maslow ada 5 dan penulis akan terfokus pada salah satu saja yaitu mengenai aktualisasi diri. Menurut Maslow setiap kota mesti direncakan dengan selera estetika yang tinggi sebagai suatu karya seni sosial, sehingga memiliki jati diri, karakter, kepribadian atau identitas yang khas dan Depok sebagai sebuah kota tidak memiliki itu.
Pada masa awal Kota Depok bediri sebelum memiliki jati diri yang pasti ataupun identitas yang khas, pembangunan terus dilakukan tanpa ampun dan mengenyampingkan hal-hal berkaitan penguatan jati diri dan identitas sebagai sebuah kota. Terbukti dari belum adanya legalitas secara aturan mengenai perlindungan cagar budaya maupun konsentrasi Pemerintah Kota Depok berupa program konkrit akan hal-hal tersebut. Pemerintah Kota Depok beberapa kali menutup mata dan telinganya ketika ada yang mengangkat bahwa Depok secara wilayah jauh sebelum Indonesia Merdeka adalah tanah yang diistimewakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kota Depok seakan-akan tidak mengakui bahwa Depok dahulu tumbuh subur dan berkembang dengan keberagamannya. Sehingga terlihat jelas dari beberapa bangunan peninggalan jejak sejarah tersebut saat ini sudah tidak tersisa. Padahal seperti yang telah penulis ungkapkan sebelumnya berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Maslow bahwa rumusan langkah nyata pelurusan pembangunan kota secara sederhana adalah melihat darimana awal kita berasal atau wilayah yang kita diami ini bermula.
Pola-pola master paln yang gigantik dan serba kaku seperti yang terjadi dewasa ini dengan menanam beton diseisi kota sudah sangat kadaluwarasa dan tidak cocok lagi untuk Kota Depok yang semakin keropos baik secara jiwa dan raga kotanya. Kota Depok secara keseluruhan baik masyarakat maupun pemerintahnya harus berani mencoba pola baru untuk mengembalikan hakikat pembangunan kota. Dimulai dari pemerintah yang melibatkan masyarakatnya dan secara keterbukaan menerima masukan, dialog maupun juga penerapan transaparansi arah pembangunan. Lalu masyarakat pun tidak diperkenankan hanya sekedar duduk diam, karena era saat ini sudah banyak saluran yang dapat kita gunakan, cara-cara tradisional seperti rembuk warga dan kerja bakti juga harus mulai dilakukan secara kesadaran untuk membentuk opini mengenai arah pembangunan yang bermula dari lingkungan sekitar dan berimbas pada seluruh penjuru Kota Depok
Mari kita mulai tulisan ini dengan bismillah, hmmm maksudnya memulainya dengan menganggap bahwa Kota Depok bukan hanya Margonda, Juanda, Pitara, Tole Iskandar dan beberapa titik kemacetan lainnya. Sejatinya beberapa nama tersebut adalah hanya nama-nama jalan bukan keseleruhan Kota Depok seutuhnya. Penulis dalam hal ini ingin melihat masalah Depok jauh dari sekedar jalan dan kemacetan tersebut. Secara jujur penulis mengamini jika Depok disebut desa yang bertransformasi menjadi kota tanpa perencanaan yang tepat (bahasa kasarnya tidak jelas). Penulis juga mengamini bahwa memang Pemerintah Kota Depok seakan-akan tidak memiliki solusi pasti atas kemacetan yang saban hari terjadi di Kota Depok. Kenapa bisa? Mari coba kita kupas isi otak penulis tentang masalah yang Depok alami hari ini.
Sumber : http://www.evetherestaurant.com/datadepok/2016/10/Kota-Depok.jpg |
Dari banyak sejarah perkotaan diseluruh penjuru negri, kita semua mengamini masa lalu kota adalah sebuah tempat yang menyenangkan untuk hidup, bekerja, merawat anak bahkan sampai menikmati tua. Seperti yang diucapkan oleh Hilderbrand Frey dalam bukunya Designing the City: Towards a More Sustainable Urban Form. (1999) "Most cities in the past are people-friendly, have a positive enviromental impact, and work very well." Akan tetap lihat apa yang terjadi hari ini? Tanpa bermaksud menyampingkan kota-kota lain, penulis mencoba fokus pada kota dimana penulis tinggal dan tumbuh saat ini, Kota Depok. Penulis rasa kota-kota lain juga tidak jauh berbeda. Pasti ada dari orang tua ataupun kakek dan nenek pembaca yang sering bercerita tentang masa lalu kota dimana pembaca pijaki sekarang, dahulu seperti ini dengan segala keunggulan sesuai dengan apa kata Frey tersebut. Namun itulah sejatinya masa lalu kota akan selalu indah apabila diceritakan secara turun temurun. Lalu mengapa tumbuh kembang Kota Depok bisa sampai seperti yang terjadi hari ini?
Depok Lahir Tanpa Jatidiri
Kota Depok secara sejarah sah dan yang diakui negara terbentuk berawal dari sebuah kecamatan yang bergabung dengan Kabupaten Bogor kemudian berangsur-angsur mandiri setelah berdirinya beberapa perumahan kemudian diikuti kepindahan UI juga yang akhirnya membawa Depok menjadi Kota Administratif ditahun 1981 dan menjadi Kotamadya pada tahun 1999. Dari segi sejarah pembentukan memperlihatkan bahwa Depok secara tidak langsung memiliki ikatan kebudayaan dengan wilayah Jawa Barat yang mayoritas Sunda tetapi dari sisi letak geografis tidak bisa ditampik bahwa beberapa wilayah di Kota Depok juga erat bersinggungan dengan kebudayaan Betawi yang berkiblat di Jakarta. Perkara ini bukan tentang lebih baik Depok terbentuk mengikuti budaya yang mana. Dalam perspektif pembangunan kota yang mengacu pada hierarki kebutuhan manusia yang dikemukakan oleh Abraham Maslow, terdapat beberapa rumusan langkah nyata yang harus dilakukan untuk meluruskan pembangunan kota yang telah mengalami kemencengan. Sebenarnya yang diungkapkan Maslow ada 5 dan penulis akan terfokus pada salah satu saja yaitu mengenai aktualisasi diri. Menurut Maslow setiap kota mesti direncakan dengan selera estetika yang tinggi sebagai suatu karya seni sosial, sehingga memiliki jati diri, karakter, kepribadian atau identitas yang khas dan Depok sebagai sebuah kota tidak memiliki itu.
Sumber : https://statik.tempo.co/data/2018/01/18/id_677665/677665_720.jpg |
Pada masa awal Kota Depok bediri sebelum memiliki jati diri yang pasti ataupun identitas yang khas, pembangunan terus dilakukan tanpa ampun dan mengenyampingkan hal-hal berkaitan penguatan jati diri dan identitas sebagai sebuah kota. Terbukti dari belum adanya legalitas secara aturan mengenai perlindungan cagar budaya maupun konsentrasi Pemerintah Kota Depok berupa program konkrit akan hal-hal tersebut. Pemerintah Kota Depok beberapa kali menutup mata dan telinganya ketika ada yang mengangkat bahwa Depok secara wilayah jauh sebelum Indonesia Merdeka adalah tanah yang diistimewakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah Kota Depok seakan-akan tidak mengakui bahwa Depok dahulu tumbuh subur dan berkembang dengan keberagamannya. Sehingga terlihat jelas dari beberapa bangunan peninggalan jejak sejarah tersebut saat ini sudah tidak tersisa. Padahal seperti yang telah penulis ungkapkan sebelumnya berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Maslow bahwa rumusan langkah nyata pelurusan pembangunan kota secara sederhana adalah melihat darimana awal kita berasal atau wilayah yang kita diami ini bermula.
Pola-pola master paln yang gigantik dan serba kaku seperti yang terjadi dewasa ini dengan menanam beton diseisi kota sudah sangat kadaluwarasa dan tidak cocok lagi untuk Kota Depok yang semakin keropos baik secara jiwa dan raga kotanya. Kota Depok secara keseluruhan baik masyarakat maupun pemerintahnya harus berani mencoba pola baru untuk mengembalikan hakikat pembangunan kota. Dimulai dari pemerintah yang melibatkan masyarakatnya dan secara keterbukaan menerima masukan, dialog maupun juga penerapan transaparansi arah pembangunan. Lalu masyarakat pun tidak diperkenankan hanya sekedar duduk diam, karena era saat ini sudah banyak saluran yang dapat kita gunakan, cara-cara tradisional seperti rembuk warga dan kerja bakti juga harus mulai dilakukan secara kesadaran untuk membentuk opini mengenai arah pembangunan yang bermula dari lingkungan sekitar dan berimbas pada seluruh penjuru Kota Depok
Komentar
Posting Komentar